Jumat, 24 Mei 2013

Arsitek Kota Bandung yang Membangun Kota Surabaya

Bambang DH

Kisah sukses Surabaya dibenahi walikotanya adalah adanya political will yang kuat dari walikotanya. Di Indonesia, banyak sekali wilayah yang telah dianggap sebagai 'kota'. Namun tidak banyak wilayah yang dianggap sebagai kota tersebut mampu memenuhi kriteria apa yang disebut sebagai kota. Diperlukan perencanaan tata kota yang baik agar sebuah wilayah tidak hanya layak disebut kota karena keramaiannya, tetapi juga karena tingkat kenyamanan wilayah tersebut walaupun memiliki kepadatan penduduk yang tinggi.



Perjuangan untuk menata kota yang ramah di Indonesia tidaklah mudah. Setidaknya, itu yang bisa diresensikan dari buku “Bambang DH Membangun Surabaya“  karangan Ridho Saiful Ashadi yang terbit awal 2013. Dalam buku tersebut, menjadi seorang Bambang tidaklah mudah. Setidaknya untuk membangun kota surabaya yang ramah bagi penduduknya. 


Dari ratusan halaman buku mengenai walikota Surabaya tersebut, ada yang menarik untuk disimak, mengenai siapa salah satu perencana tata kota surabaya itu sendiri. Dalam satu bab di buku tersebut, terungkap bahwa justru salah satu perencana tata kota surabaya berasal dari Kota Bandung. Kota yang saat ini sedang mengalami masa penurunan tata kota di mana pengelolaan wilayah kota bandung cukup 'mengkhawatirkan'. Setidaknya, muncul banyak anggapan bahwa 'kota bandung' sudah hampir menyerupai kota Jakarta yang 'salah urus'. Mulai dari kemacetan, banjir, dan pembangunan yang tidak terkontrol.
Dari buku mengenai Bambang DH yang menceritakan pembangunan kota surabaya dapat diketahui bahwa ada peran arsitek kota bandung yang saat ini menjadi sorotan. Bukan hanya karena prestasinya, tetapi juga karena efek kinerjanya yang dirasakan oleh lingkungan sekitar. 
Diceritakan di dalam buku 'Bambang DH Membangun Surabaya', Ridwan Kamil menurut Bambang menjadi salah satu bagian penting pada saat menciptakan 'vision plan' kota Surabaya saat itu. Lebih lengkapnya, berikut kutipan mengenai peran Ridwan Kamil bagi tata kota surabaya saat itu:

Pada pertengahan 2004, Ridwan Kamil bertemu Bambang di rumah dinas Wali Kota di Jalan Sedap Malam. Ridwan meminta Bambang D.H. yang saat itu ditemani Djamhadi mendengarkan konsep besarnya dalam menata sebuah kota. Paparan selama satu setengah jam itu langsung disambut anggukan setuju.
Kesepakatan terjadi. Ridwan Kamil meminta Bambang yang sudah berkomitmen menata kota itu untuk tak tanggung-tanggung menjadikan Surabaya hanya apik secara nasional. Tapi juga harus ada visi menjadikannya menawan di tingkat intennasional.
Konsep pertama penataan adalah menentukan komposisi pembangunan dan ruang terbuka hijau (RTH). Pembagiannya harus seimbang, yaitu 30 persen RTH dan 70 persen sisanya untuk bangunan dan jalan. “ini merupakan harga mati keseimbangan. Daya dukung sebuah kota baru akan maksimal dengan komposisi seperti ini,” tandas Ridwan Kamil.
 Yang kedua, membangun kota itu juga berarti membangun gaya hidup. Ridwan mengatakan memang tak mungkin bisa memaksa seseorang untuk naik bis ketimbang naik sepeda motor. Tapi, pemerintah bisa memaksakan sebuah regulasi yang membuat orang lebih suka memilih transportasi umum daripada kendaraan pribadi. “Seperti di Eropa, parkir mobil mahal, pajak kendaraan pribadi mahal, namun diimbangi dengan transportasi massal yang murah, nyaman, serta bisa menjangkau ke mana-mana,” tutur Ridwan.
Konsep ketiga, pembangunan kota harus seimbang antara pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Inilah yang disebut dengan pembangunan berkelanjutan. “Membangun kawasan ekonomi juga harus memperhatikan aspek sosial dan ekologinya. Tak bisa asal membangun saja,” tuturnya.
Kata Ridwan, ciri sebuah kota yang baik bagi warganya adalah kota yang mampu membuat wanganya di segala rentang usia sukarela keluar numah untuk bermain. “Kalau warga sebuah kota lebih suka di rumah ketimbang di jalanan untuk menikmati suasana kota, jelas kota itu adalah kota sakit,” ucap Ridwan.
Hal keempat, kota yang baik harus memberikan visi yang jelas kepada warganya. Maksudnya, warga kota tahu ke arah mana pengembangan sebuah kota. “Seperti di Tiongkok, pembangunan sebuah kawasan selalu dipamerkan dulu di tempat publik. Biasanya dalam bentuk maket. Kemudian publik bebas menyuarakan aspirasinya soal pengembangan tersebut melalui semacam kotak saran yang ada,” tandasnya.
Dengan cara itu masyarakat di sana paham apa yang akan dibangun di kawasan ini, atau bagaimana pemerintah merancang bentuk kota sepuluh tahun ke depan. “Sehingga warga kota bisa menyiapkan langkah-langkahnya dalam menyambut pembangunan tersebut,” terangnya.
Terakhir, sebuah kota yang sehat membutuhkan political will yang baik dan pemimpinnya. “ini yang biasanya menjadi penyakit di Indonesia. Seorang kepala daerah banyak yang money-oriented untuk mengembalikan modal waktu mencalonkan diri. Tak heran, daerah yang dipimpinnya kerap hanya membangun secara sporadis, tanpa perencanaan yang matang,” tutunnya.
Dengan lima dasar konsep yang ditawarkan itulah Bambang D.H. mantap mengontrak Ridwan Kamil menjadi konsultan penencanaan tata kota. Tujuan kerja sama itu adalah menjadikan Surabaya dengan tata ruang kelas dunia.
Ridwan juga tak tanggung-tanggung. Dia mengundang EDAW, sebuah lembaga konsultan tata kota dan AS, sebagai mitranya untuk merencanakan tata ruang Surabaya. Bersama Edaw, selama sebulan Ridwan menyurvei Surabaya.
 Kesimpulan survei itu menujukkan bahwa Surabaya tak berbeda dan kota-kota lainnya di Indonesia, sebuah kota sakit dengan pola pembangunan sporadis dan tak terencana. Yang menj adi tolok ukur adalah ketiadaan public sphere yang layak saat itu. Saat Ridwan Kamil melakukan survei, Taman Bungkul masih merupakan taman tak terurus: gelap, jadi tempat pacanan, lapangan berbatu dengan pagar yang tak jelas gunanya. PKL pun datang merajalela tanpa ada yang mengurus.
Satu-satunya alasan mendatangi tempat itu adalah untuk ziarah ke makam Sunan Bungkul. Pendek kata, kawasan yang berlokasi di salah satu jalan utama di Surabaya itu menjadi kartu mati. Tak jelas public sphere apa bukan, namun warga kota jelas enggan datang ke sana untuk berpelesir bersama keluarga.
Menurut Ridwan Kamil dan tim, Surabaya benan-benar tak mempunyai tempat publik yang membuat warganya sukarela keluar rumah. “Sekali lagi, saya tekankan bila warganya enggan untuk keluar rumah untuk berpelesir, maka jelas ada yang salah dalam penataan ruang di kota tersebut,” ucap Ridwan.
Kelemahan lain Surabaya yang paling terlihat adalah pembangunannya tidak merata dengan disparitas antar daerah yang sangat senjang. Ridwan Kamil menunjukkan bahwa Surabaya Barat sangat bagus, sementara Surabaya Utara begitu kumuh dan tertinggal. Satu ciri lagi yang menunjukkan bahwa Surabaya kebingungan dengan visi pembangunannya adalah ia melupakan dan meninggalkan Kalimas.
Padahal, di kota-kota besar dunia, sungai merupakan landmark sebuah kota. Sungai Thames di London, Sungai Liffey di Dublin, Sungai Amstel di Amsterdam, atau Sungai Potomac di Washington D.C. “Sementara Surabaya yang punya Kalimas malah melupakannya. Menjadi tempat sampah besar,” paparnya.
Hanya satu hal positif yang dicatat oleh Ridwan Kamil saat itu. Apa itu? Political will pemimpinnya luar biasa besar. “Surabaya adalah kota pertama yang benar-benar berniat menggunakan jasa saya untuk melakukan penataaan kotanya. Dan inisiatif justru datang dari wali kotanya,” katanya.

Sangat ironi jika seseorang dihargai oleh warga lain untuk membangun sebuah kota, namun justru tidak menjadi perhatian bagi warga di kotanya sendiri. Kota Bandung bukanlah kota yang bermasa depan suram jika diarsiteki oleh arsitek yang tidak hanya berpengalaman, namun memiliki visi yang jelas dalam pembangunan sebuah kota. Tidak hanya Visi, tetapi bukti kongkret mengenai implementasi dari visi yang telah dibuatnya juga harus diuji. Sudah seharusnya, warga kota bandung mulai berpikir, ingin diurus oleh arsitek yang berpengalaman dan terbukti mampu menjadi bagian dari kesuksesan di kota lain, atau diurus oleh arsitek yang terbukti menjadi bagian dari kesuraman kota bandung belakangan ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar